Warna Purba Batik Modern

Oleh: Mujib Rahman dan Lufti Avianto

Perempuan ini menggali kembali racikan pewarna tradisional yang nyaris punah. Ia menjadikan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan pewarna batik. Dari tangannya, lahir batik modern yang indah dan ramah lingkungan.

BERAGAM motif batik tulis terpajang indah di workshop Creative Kanawida, Jalan H. Soleh Nomor 2, Benda Baru, Pamulang, Tangerang, Banten. Kain-kain halus itu menampilkan warna-warna beragam, tapi tidak mencolok. Batik-batik bermotif indah itu berkelir alam, seperti cokelat tanah, hijau daun, biru langit, dan merah bata. Dari segi motif dan corak, batik yang diberi sebutan ‘’Batik Hijau’’ itu sama indahnya dengan batik tulis yang banyak dikembangkan pembatik tradisional di Indonesia. Yang membuatnya lebih spesial: pewarna yang digunakannya berasal dari bahan-bahan alami.

Batik cantik yang ramah lingkungan ini dibuat Sancaya Rini, 50 tahun. Ibu empat anak jebolan Jurusan Hortikultura, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu meramu berbagai bahan alami untuk pewarna kain. Hasilnya: kaya motif, corak, dan warnanya lebih awet. Kreasi Rini pernah terpilih sebagai produk unggulan versi Dinas Koperasi DKI Jakarta pada 2008. Salah satu bentuk penghargaan yang diterimanya adalah gerai di Gedung UKM Center, kawasan Waduk Melati, Jakarta Pusat. Tahun lalu, ia juga meraih Kehati Award dari Yayasan Kehati. Rini dinilai sebagai individu yang berjasa menggunakan keragaman hayati Indonesia secara bermanfaat dan berkesinambungan.

Sebetulnya usaha yang dirintis Sancaya Rini pada 2005 ini masih berskala rumahan. Pada saat ini, wanita kelahiran Yogyakarta, 11 Agustus 1959, itu mempekerjakan tiga pembatik yang didatangkan dari Pekalongan, Jawa Tengah, tiga pembatik lokal binaannya, dan para karyawan gerai. Proses pembuatan batik tulis alami itu tidak jauh berbeda dari batik biasa. Hanya membutuhkan waktu lebih lama, karena warna yang dihasilkan dari bahan alami memerlukan pencelupan berulangulang —bisa tujuh atau delapan kali pencelupan.

Selembar kain pajang ukuran 2,6 x 1,10 meter, misalnya, membutuhkan waktu satu hingga dua pekan untuk membuat sketsa, mencelup, sampai mencantingnya. Pembuatan selendang bisa lebih cepat, paling lama seminggu. Lamanya proses pembuatan sebuah produk amat bergantung pada kerumitan motifnya. Menurut Rini, alam menyediakan warna-warna yang kaya, melimpah jumlahnya, dan murah harganya. Hampir semua bahan yang ada di sekitar rumah bisa dijadikan bahan pewarna. Misalnya kulit rambutan, mangga, manggis, alpukat, mengkudu, kelopak kembang sepatu, buah jengkol, dan nangka.

Namun, untuk beberapa bahan pewarna alami khusus, terkadang ia harus berburu agak jauh. Misalnya, untuk tanaman tarum dan secang yang bisa memunculkan warna biru dan ungu, Rini menemukannya setelah berburu ke Jawa Timur. Kini, di kebun samping rumahnya, Rini membudidayakan tanaman-tanaman unggulan pewarna alami yang nyaris punah, antara lain kesumba keling (Bixa orellana) yang bisa menampilkan warna kuning hingga oranye.

Membuat bahan-bahan alami menjadi pewarna tekstil sebetulnya sederhana. Bahan-bahan yang terdiri dari biji, daun, kulit, batang, atau buah tanaman tertentu hanya perlu direbus, lalu diendapkan semalaman. Esok paginya, siap digunakan. Seluruh proses pewarnaan membutuhkan waktu 2-10 hari, tergantung tingkat kesulitan motif dan jenis warnanya. Membuat batik berwarna alam awalnya tidak terpikir oleh Rini. Sejak masih muda hingga anak-anaknya sudah besar, ia mendampingi suaminya yang bekerja di sebuah perusahaan tambang di Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam.

Setelah suaminya tidak lagi bekerja, keluarganya pulang ke Pamulang, Banten. “Pada saat itu, saya mulai mencari kesibukan,” ujar Rini, yang dikaruniai empat anak. Inspirasinya datang setelah ia membuka kembali batik tulis karya neneknya, Sri Ginah, yang masih disimpannya. Spontan ia tergugah untuk mengeksplorasi darah pembatik yang mengalir dalam tubuhnya. Maka, anak kedua dari lima bersaudara pasangan Sapardi Brojohudoyo dan Kartini itu memutuskan belajar membatik di Museum Tekstil Taman Mini Indonesia Indah. Usai belajar, ia mulai mempraktekkan ilmu yang didapatnya.

Sayang, suaminya keberatan ia membatik dengan bahan pewarna kimiawi. Suaminya, Sutadi Sastroatmojo, yang berlatar pendidikan teknik kimia mengkhawatirkan hobinya itu berdampak buruk bagi lingkungan sekitar perumahan. ‘’Kalau masih menggunakan bahan kimia, lebih baik tidak usah membatik saja,’’ kata lelaki kelahiran Wonosobo, 25 September 1952, itu. Kemudian suaminya menganjurkan Rini menggunakan bahan alami sebagai pewarna. Namun itu tidak mudah. Berbekal teori seadanya, Rini melakukan ratusan kali percobaan sebelum akhirnya mengetahui tipikal warna yang dihasilkan bahan-bahan yang ia pakai.

Rini mengaku suka bereksperiman dengan sisa-sisa pewarna. Beberapa bahan biasanya ia campur dengan bahan lainnya. ‘’Itu justru menghasilkan warna baru yang tak terduga,’’ katanya. Karena suka berinovasi, warna batik Rini sering liar dan tidak konsisten. Ia tidak pernah menghasilkan satu warna yang sama dalam setiap produknya. Ia mengaku lebih senang begitu.

Kini ‘’Batik Hijau’’ mulai dikenal luas. Menurut Rini, harga produknya Rp 125.000 hingga Rp 1,5 juta. Sambil menunjuk selembar selendang merah dua motif dari bahan campuran serat nenas dan sutra, ia menyebut harga Rp 125.000. Harga selembar kain jarit sutra dengan pewarna tarum Rp 1,5 juta. Selain berjualan di gerainya, Rini sering melayani pesanan yang terkadang datang dari tempat yang jauh. Baru-baru ini, misalnya, ia mendapat pesanan dari Australia.

Belakangan, seorang kemenakan Rini membantu membuat tema desain untuk produk tertentu yang dibuat limited edition. Biasanya satu tema hanya untuk lima potong kemeja. ‘’Seperti kain bermotif sepeda ini,’’ kata Rini, sambil menunjukkan sepotong kemeja seharga Rp 450.000.

Untuk mengisi dua gerai Creative Kanawida, anak buahnya juga mengerjakan kerajinan lain dari bahan-bahan daur ulang, seperti amplop, kartu ucapan, dan gantungan kunci. Untuk produk sampingan ini, Rini menyerahkan pemasarannya kepada para pemuda yang dibinanya. “Pemasukan dari produk kertas daur ulang itu khusus untuk mereka,” ujarnya.

Tentang nama usahanya, Rini punya cerita sendiri. Nama Creative Kanawida adalah gabungan dari kata Inggris, creative, yang berarti kreatif dan kanawida dari bahasa Kawi yang berarti aneka warna. “Bukan hanya kegiatannya aneka macam, melainkan juga aneka warna yang menakjubkan,” katanya.

Dimuat Majalah Gatra

Edisi Khusus Hari Kartini, “Perempuan Di Puncak Prestasi”, 21 April 2010