Oleh: Lufti Avianto
*) Dimuat di rubrik Enterpreneur Side, Majalah La Cuisine
Tak banyak orang –dengan profesi serupa, mengambil keputusan seperti dirinya untuk berwirausaha. Adzan Tri Budiman, adalah seorang executive chef di Hyatt Regency Hotel, Yogyakarta yang mengambil pilihan berani dalam hidupnya. Dengan pengalaman dua belas tahun sebagai chef, dirasa cukup baginya untuk mengawali diri menjadi ‘sesuatu’.
Sebelum di puncak karir itu, adzan mengawali karir semasa kuliah sebagai apperentice & 2nd commis di Hotel Aryaduta pada 1990. Selang setahun kemudian, ia bergabung di Grand Hyatt Jakarta. Bersama Hyatt, hampir seluruh jejak karirnya dirintis bersama hotel kelas dunia. Mulai dari jabatan sebagai commis (1991), demi chef (1991), sous chef de cuisine (1995), chef de cuisine (1997), executive sous chef (1998) hingga executive chef. Namun, pada 1993, dia sempat bergabung dengan kapal pesiar Norwegia yang bekerjasama dengan Amerika, Royal Viking Queen selama enam bulan. “Maklum kan butuh biaya buat nikah,” katanya.
Ketika memutuskan untuk jadi enterpreneur, alumnus Akademi Pariwisata dan Perhotelan Sahid Jaya ini telah melewati fase pengendapan ide. Apa yang bakal dilakukannya setelah meninggalkan hotel? Terlalu banyak ide yang menumpuk kala itu. Saking banyaknya, pria multitalent ini bahkan sempat menjajal 11 profesi. Mulai dari dosen, seniman, pedagang wine, pedagang daging, desainer grafis, pedagang panci, demo masak dan sebagainya. “Kebetulan memang di kasih bakat dengan kemampuan banyak hal, dan pada akhirnya memang , hal yang kita kuasai akan lebih menonjol,“ kata Adzan yang akhirnya memilih bisnis resto dan food consultant.
Tentu pilihan itu tidak main-main. Adzan telah mempertimbangkan banyak alasan. Dia melihat kebanyakan chef senior tak ada yang sukses dari segi apapun di hari tuanya. Lagi pula, usianya kala itu masih terbilang muda, 32 tahun. Sangat memungkinkan baginya, bila bisnis yang dibangunnya mengalami kegagalan, dia masih bisa balik ke hotel. Alasan lainnya, sistem manajemen yang ada di hotel, menurutnya, telah melahirkan diskriminasi antara chef lokal dan asing. Lengkaplah sudah, alasan lelaki kelahiran Jakarta, 30 Mei 1968 ini untuk mundur.
Dia menganggap diskriminasi manajemen itu sebagai proses untuk menimba ilmu. Meski dalam beberapa hal, menurutnya chef lokal memiliki kemampuan untuk sejajar dengan chef asing, baik dari segi keterampilan, prinsip atau sudut pandang. Namun pada akhirnya, mentalitas menjadi letak perbedaannya. ”Jadi sebaiknya chef indonesia pergi ke luar negri apabila ingin melihat alasan kenapa kita di negara sendiri sangat tidak di hargai,” saran dia.
Pada saat keputusannya dibuat, tentu saja ada kekhawatiran yang menelusup soal keuangan. Hal paling sederhana yang dilakukan untuk mengusir perasaan itu adalah dengan kerja keras dan selalu berusaha. “Bukankah itu arti dari kata pengusaha?” retoris. Ketakutan itu cukup beralasan, mengingat dia tak memiliki pengalaman bisnis sama sekali. Namun berbekal jaringan dan kolega yang dimiliki, dia belajar semua secara otodidak. Yang terpenting dari materi pelajaran itu adalah, “proses mengubah pola pikir pekerja menjadi pengusaha,” katanya.
Tekadnya yang membulat, membuat ayah dua putra ini, tak merasakan lagi pahit-getirnya menjalankan roda usaha. “Semua masalah adalah proses,” katanya bijak. Sehingga apapun yang dialaminya dirasa baik-baik dan menyenangkan. Pada akhirnya memang diakui, ada kepuasan tersendiri dari keputusan yang diambil sepuluh tahun lalu untuk berwirausaha, dibandingkan dengan chef yang masih menjadi karyawan.
Maka, dibukalah Gabah Resto di Yogyakarta, sebagai tempat usaha yang pertama. Dalam hitung-hitungannya, dunia parawisata dan kuliner mempunyai prospek yang bagus ke depan. Tak hanya membuka restoran, dia juga menjadi tenaga food & beverage consultant beberapa restoran. Prinsipnya, “segala sesuatu bila dikerjakan dengan baik maka hasilnya akan baik pula.”
Hasil dari berpegang teguh terhadap prinsipnya itu berbuah manis. Restoran berikutnya pun turut dibuka di Yogyakarta, di antaranya Sapi Bali, Pasta Gio, Dapur Bata, Soto Pipi Sapi Babe Cilik, dan Teri Kacang, sementara di Solo ada Oh La Vita. Juga usaha food consultant untuk menanganai beberapa restoran di Yogyakarta, seperti Sekar Kedhaton, V Art Gallery Resto, Dapur Manado, Bumbu Pawon, Yo Café, Sasanti Resto.
Biodata
Nama : ADZAN TRI BUDIMAN
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, May 30th 1968
Pendidikan : Akademi Pariwisata dan Perhotelan SAHID JAYA, Jakarta
Alamat : Mudal RT 01/19, Sariharjo, Ngaglik – Sleman, Yogyakarta
Agama : Islam
Status : Menikah dengan 2 putra
Email : adzantomatogreen@yahoo.com
Blog : www.melancholychef.com
Aktivitas Kemanusiaan :
Bantul Earthquake
As a Chef for emergency kitchen together with local comumunity, Profesional chef from Jakarta, Bandung, Semaramg and Solo and produced 2000 portions traditional “Nasi Bunkus” , Cook in a trasional.
Keraton Yogyakarta Royal Wedding
As an Organizer from a few food vendors to served every class of society. From President to common people around the palace. 3 days event served about 10.000 guests
General Manager Hyatt International Meeting, 1996
Banquetting and Set menu style dinner, served 150 General manager from all Hyatt around the world , conducted at the Grand Hyatt Jakarta
Executive Chef and Director of Food & Beverage Meeting, 1996
Banquetting and Set menu style dinner, served about 150 Executive Chef and 150 Director of Food & Beverage Hyatt International. Fully in charge on one section with 20 crews serving 7 courses.
Padang Earthquake
As a Chef for emergency kitchen together with local comumunity, produced 4000 portions traditional “Nasi Bunkus” , Cook in a traditionawayl.
Merapi Eruption
As a Chef for emergency kitchen together with local comumunity, produced 5700 portions traditional “Nasi Bunkus” , Cook in a traditionalway.